Singgah ke Pasar Grosir Batik Setono Pekalongan
Pada tanggal 5 Mei 2025, saya berkesempatan singgah ke Pasar Grosir Batik Setono di Kota Pekalongan. Sebagai orang Solo yang sejak kecil akrab dengan batik, saya cukup penasaran untuk menyaksikan langsung seperti apa batik Pekalongan yang selama ini dikenal dengan warna dan motifnya yang berani. Meski telah terbiasa dengan nuansa klasik dan kalem khas Batik Solo, rasanya tak ada salahnya melangkah ke dunia batik yang lebih dinamis di tanah pesisir ini.
Pasar Grosir Setono sendiri merupakan salah satu pusat perdagangan batik terbesar di Pekalongan. Berdiri sejak akhir era 1970-an, pasar ini berkembang pesat seiring nama Pekalongan yang semakin melekat sebagai kota batik. Bahkan, UNESCO telah mengakui Pekalongan sebagai Kota Kreatif Dunia dalam bidang kerajinan dan seni rakyat pada tahun 2014. Dengan ratusan kios dan toko batik yang berjajar di sepanjang kompleks pasar, Setono kini menjadi tujuan utama bagi pembeli grosiran maupun wisatawan yang ingin membawa pulang kain atau baju batik langsung dari sumbernya.
Saat pertama masuk ke area pasar, saya langsung disambut deretan kios yang memamerkan batik dalam berbagai bentuk—mulai dari kain panjang, gamis, kemeja, hingga produk fashion modern seperti outer dan tote bag batik. Warna-warna terang seperti fuchsia, kuning cerah, hijau toska, dan biru elektrik mendominasi tampilan etalase. Motifnya pun variatif: dari flora-fauna tropis, burung merak, hingga ornamen abstrak penuh imajinasi. Semuanya tampak begitu hidup, nyaris bertolak belakang dengan batik Solo yang cenderung menggunakan warna sogan (coklat tua), hitam, dan putih dalam motif-motif geometris dan simbolis.
Batik Pekalongan memang dikenal sebagai batik pesisir, yang kuat dipengaruhi interaksi budaya luar seperti Tionghoa, Arab, dan Belanda. Hal ini menjadikan motifnya lebih bebas dan ekspresif, berbeda dari batik keraton Solo yang lebih simbolik, tertata, dan sarat makna filosofis. Bisa dibilang, batik Solo adalah narasi sejarah, sementara batik Pekalongan adalah lukisan hidup yang terus berubah mengikuti zaman.
Namun, di balik pesona visual itu, saya mendapati beberapa kekurangan dari Pasar Setono yang mungkin perlu perhatian. Fasilitas umum seperti toilet dan tempat istirahat masih minim dan kurang terawat. Beberapa lorong sempit terasa sesak saat ramai, terutama jika datang di akhir pekan atau musim liburan. Selain itu, variasi harga kadang membuat bingung—karena tidak semua toko mencantumkan harga jelas dan beberapa masih harus ditawar.Kendati demikian, berbelanja di sini tetap menyenangkan. Banyak pedagang yang ramah, tidak memaksa, dan bahkan senang menjelaskan filosofi di balik motif batik yang mereka jual. Saya sempat membeli selembar kain batik motif burung hong yang katanya melambangkan keberuntungan dan kemakmuran.
Perjalanan singkat ini membuat saya menyadari bahwa batik, meskipun berasal dari satu akar budaya, bisa tumbuh dengan ragam rupa tergantung di mana ia berkembang. Batik Solo mengajarkan kesabaran dan kedalaman filosofi, sedangkan batik Pekalongan menawarkan kebebasan ekspresi dan keberanian bereksperimen. Keduanya tidak bisa dibandingkan secara mutlak, tapi justru saling melengkapi dalam memperkaya khazanah budaya Indonesia.
Komentar
Posting Komentar