Review Film Merah Putih

Film Merah Putih sudah beredar di bioskop sejak 13 Agustus ini. Saya menonton di Blitz Megaplex Mall of Indonesia. Disini saya mendapatkan souvenir berupa ikat kepala merah putih, untuk tempat lain apakah dapat souvenir juga? Lumayan lah buat persiapan 17-an nantinya.

Film Merah Putih (MP) saya akui mempunyai tema yang bagus dengan dibuka dengan pemuda-pemuda yang masuk tentara pada waktu RI masih muda (1947). Rasa kedaerahan, agama dan suku yang kuat menjadi tema yang menarik diangkat untuk masalah yang muncul dalam cerita perekrutan prajurit ini.

Sutradara MP sangat tepat membuat peperangan di malam hari dan lokasi di hutan. Menurut saya, adegan ini tidak membutuhkan banyak sumber daya manusia dan peralatan. Karena didukung dengan ledakan bomb yang sekelas film Rambo dan sound bomb dan peluru yang sangat bagus, pencahayaan yang mendatangkan siluet pohon dan manusia yang bagus, film MP berhasil menghadirkan ketegangan perang malam hari.

Sebaliknya perang di siang hari kurang menggigit, terlihat sekali sangat ngirit pemeran dan aksinya. Mustinya lebih dibanyakin cipratan air dan batu yang terkena peluru sehingga terkesan ada tentara Belanda yang memberondong dengan senapan mesinnya.

Sebenarnya ada cuplikan film ini yang membuat saya kagum, sewaktu si Letnan melamun kembali ke masa Jepang, disitu saya kaget karena visual yang dimunculkan sangat bagus, lebih bagus dibandingkan visual MP sendiri. Visualnya dibuat sedikit kasar sehingga gambar terkesan kuno (spt film arsip nasional), tetapi menjadi lebih pas dengan kondisi jaman itu...sangat hidup menurut saya. Adegan yang cuma sekitar 1 menit ini membuat saya berpikir kalau film MP ini seperti itu, sepertinya bagus sekali. Coba nanti perhatikan jika Anda lihat film ini.

Yang menjadi acungan jempol adalah teknik ledakan sudah sangat bagus. Api sangat besar dan membuat cendawan api yang sangat bagus. Sepertinya tidak sia-sia mendatangkan konsultan ledakan dari luar negeri. Tetapi gara-gara teknik senjata makin bagus, maka kita tidak dihadirkan aksi tusuk-menusuk dengan bambu runcing, walaupun di adegan perang di akhir film ini, tentara mengajarkan penduduk membuat bambu runcing tetapi di perang hampir tidak digunakan.

Peran yang saya sukai adalah Dayan diperankan oleh T Rifnu Wikana, seorang prajurit hindu dari Bali. Dia sangat jago memainkan pisau, dan sangat pas dengan peran prajurit yang bijaksana. Bahasa tubuhnya sangat bagus dibanding prajurit yang lain, sehingga terkesan lebih heroik di film ini. Dia bisa menjadi penasehat yang baik buat sesama prajurit dan juga pada atasan. Dia pendiam tetapi bisa menjadi prajurit sadis dengan aksi pisaunya. Dia bisa menjadi orang yang sedih karena pak Lurah tidak mau ikut perintahnya. Sehingga Dayan lah yang manjadi favorit saya di film ini.

Komentar

Posting Komentar